Menjelang puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), Wakil Menteri Agama (Wamenag) RI, Romo KH R Muhammad Syafi’i, menyampaikan sejumlah pesan mendalam kepada seluruh jemaah haji. Wamenag menekankan bahwa tahapan Armuzna adalah gambaran manusia dalam keadaan mati dan dikumpulkan kembali di padang Mahsyar, sebuah momen sakral yang harus dimaknai sepenuhnya oleh setiap jemaah.
“Di tahapan Armuzna, kita seolah-olah dalam keadaan mati,” kata Wamenag, Selasa (3/6/2025).
Ia menjelaskan, di Arafah, seluruh jemaah haji memakai pakaian ihram, sebuah kondisi yang melambangkan kesamaan semua manusia di hadapan Allah SWT.
“Di Arafah, kita tidak memakai pakaian lain kecuali ihram. Kita berkumpul dan berjalan bersama. Tidak ada yang membedakan manusia satu dan lainnya walaupun manusia dengan pangkatnya di dunia,” tegasnya, menyoroti esensi kesetaraan dalam ibadah haji.
Lebih lanjut ia menggambarkan Arafah sebagai miniatur padang Mahsyar. Ia juga mengingatkan jemaah akan tujuan utama berkumpulnya mereka di Arafah, yaitu untuk memohon ampunan dan keberkahan Ilahi. “Kita semua merendahkan diri kepada Allah SWT dan mengharapkan ridho Allah SWT,” tuturnya.
Setelah menjalani wukuf di Arafah, jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah. Di tempat ini, jemaah memiliki kewajiban untuk mabit (menginap) dan mengumpulkan batu kerikil yang nantinya akan digunakan untuk melontar jumrah.
Prosesi ini merupakan bagian integral dari rangkaian ibadah haji yang harus dijalankan dengan khusyuk. Jemaah diminta persiapkan diri ke Muzdalifah dan menceker diri mencari kerikil.
Kerikil yang terkumpul kemudian dibawa ke Mina untuk melaksanakan lontar jumrah, sebuah simbol menangkis semua godaan setan yang kerap menghampiri manusia dalam kehidupannya. “Kita pertahankan kerendahan diri kita di hadapan Allah SWT. Kita gunakan semua kekuatan yang kita punya untuk melempar jumrah,” pesan Wamenag.
Muhammad Syafi’i, menggarisbawahi semangat dan tekad yang harus dimiliki jemaah dalam melawan godaan-godaan tersebut. Ini bukan hanya ritual fisik, tetapi juga pertarungan batin yang memerlukan kekuatan spiritual.
Wamenag juga menekankan bahwa seusai menunaikan ibadah haji, tugas utama jemaah adalah menjaga kemabruran haji. Menurutnya, haji yang mabrur adalah haji yang membawa diri semakin bertakwa kepada Allah SWT setelah pulang ke tanah air. Ini berarti adanya peningkatan kualitas ibadah pribadi (ibadah mahdah) dan juga peningkatan kontribusi sosial yang dampaknya dirasakan oleh sesama.
Dia juga menjelaskan ciri-ciri haji mabrur, yaitu tidak ada sesuatu pun yang dibanggakan kecuali keinginan kuat untuk mentaati Allah SWT.
“Harta dipakai untuk mentaati Allah, jabatan dipakai untuk mentaati Allah,” pungkasnya.
Haji mabrur adalah menggunakan harta dan jabatan dan semua yang dimilikinya untuk mentaati Allah SWT. Ibadah mahdah semakin meningkat, dan ibadah sosialnya semakin dirasakan oleh sesama. Ini menjadi pengingat penting bagi setiap jemaah agar nilai-nilai haji terus terpelihara dalam setiap aspek kehidupan.