Bau lumpur bercampur duka yang mendalam menyelimuti Kampung Tengah, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di tengah lanskap yang porak-poranda akibat terjangan banjir bandang dan longsor dahsyat, sepetak lahan sederhana kini menjadi saksi bisu upaya terakhir warga menghormati para korban.
Lahan ini, yang tadinya kosong, telah menjelma menjadi kuburan massal bagi puluhan nyawa yang direnggut bencana alam mematikan tersebut.
Dengan segala keterbatasan, tanpa menunggu bantuan besar datang, warga Kampung Tengah bahu-membahu melaksanakan tugas paling berat: memakamkan jenazah para tetangga, kerabat, dan saudara mereka.
Sejak Sabtu (29/12/2025) lalu, proses pemakaman massal telah berlangsung secara darurat. Mereka menggali, menata, dan mengantar para korban ke peristirahatan terakhir, sebuah tindakan kemanusiaan yang terpaksa dilakukan di bawah tekanan waktu dan ancaman penyakit.
Kesaksian Ium, salah seorang warga setempat, melukiskan betapa mencekamnya kondisi yang mereka hadapi. Hingga Kamis (4/12/2025), sekitar 33 jenazah telah berhasil dimakamkan secara massal di lokasi tersebut. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah seiring upaya pencarian yang masih terus berlangsung di beberapa titik terdampak parah.
Keterbatasan bukan hanya pada tenaga dan peralatan, namun juga pada kondisi jenazah yang ditemukan. Banyak korban yang dimakamkan terpaksa disatukan dalam satu liang lahat.
“Ada yang satu lubang itu 20 jenazah, ada jenazah yang tidak lengkap organ tubuhnya, ada yang belasan, ada juga yang tiga dalam satu lubang. Daripada busuk, kami kuburkan cepat,” ungkapnya.
Pemakaman itu merupakan keputusan berat yang harus diambil demi mencegah masalah kesehatan lebih lanjut. Tragedi ini menyimpan kisah-kisah mengerikan tentang dampak keganasan alam.
Proses evakuasi dan identifikasi jenazah menjadi tantangan yang hampir mustahil karena banyaknya jasad yang ditemukan dalam kondisi tidak utuh dan tanpa identitas. Salah satu temuan yang paling mengguncang adalah jasad-jasad yang termutilasi oleh arus galodo.
“Ada yang terpotong-potong tanpa identitas, kepalanya tidak ditemukan. Ada yang tinggal pahanya saja,” cerita Ium.
Kondisi ini memperparah penderitaan keluarga korban yang berharap bisa menemukan orang-orang terkasih mereka dalam kondisi yang lebih layak.
Bahkan, ada dua jenazah yang sama sekali tidak dapat diidentifikasi. Tanpa nama dan tanpa keluarga yang bisa mengklaim, mereka langsung dikebumikan. Situasi darurat ini menuntut tindakan cepat, karena kekhawatiran jenazah akan membusuk dan menyebarkan penyakit lebih besar daripada upaya identifikasi yang membutuhkan waktu.
Di lokasi pemakaman, tampak warga bekerja tanpa kenal lelah. Ada yang memanggul cangkul untuk menggali makam, ada yang dengan hati-hati menata jenazah sebelum ditutup tanah, dan sebagian lainnya berdiri di sisi lubang, memanjatkan doa khusyuk.
Sebuah pemandangan yang mengharukan, menampilkan solidaritas masyarakat Agam dalam menghadapi bencana terbesar yang pernah mereka alami.
Pemakaman massal ini adalah akhir dari pencarian yang menyakitkan, namun sekaligus awal dari duka panjang bagi Kampung Tengah. Di bawah gundukan tanah basah yang baru, puluhan korban beristirahat bersama, sebuah monumen bisu atas kekuatan dan kehancuran alam, serta semangat warga yang tetap tegak di tengah nestapa.








